Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo,
Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Dairi,
Kota Medan, dan Kabupaten Aceh Tenggara.
Nama
suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang
mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo.Suku ini
memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo, dan memiliki salam
khas, yaitu Mejuah-juah.
Sementara pakaian adat
suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan
perhiasan emas.Adapun keberadaan Rumah adat suku Karo atau yang dikenal
dengan nama Rumah Si Waluh Jabu yang berarti rumah untuk delapan
keluarga, yaitu Rumah yang terdiri dari delapan bilik yang masing-masing
bilik dihuni oleh satu keluarga. Tiap keluarga yang menghuni rumah itu
memiliki tugas dan fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan pola
kekerabatan masing-masing.
Sejarah Suku Karo
Menurut Kol.
(Purn) Sempa Sitepu dalam buku "Sejarah Pijer Podi, Adat Nggeluh Suku
Karo Indonesia" menuliskan secara tegas etnis Karo bukan berasal dari si
Raja Batak. Ia mengemukakan silsilah etnis Karo yang diperoleh dari
cerita lisan secara turun temurun dan sampai kepada beliau yang didengar
sendiri dari kakeknya yang lahir sekitar tahun 1838.
Menurutnya,
leluhur etnis Karo berasal dari India Selatan berbatasan dengan
Mianmar.Menurut cerita yang disarikan oleh Sempa Sitepu, bahwa pada
awalnya seorang maharaja yang sangat kaya, sakti dan berwibawa yang
tinggal di sebuah negeri bersama permaisuri dan putra-putrinya, yang
terletak sangat jauh di seberang lautan. Raja tersebut juga mempunyai
seorang panglima perang yang sangat sakti, berwibawa dan disegani semua
orang. Nama panglima itu ialah Karo keturunan India.
Pada
suatu ketika, maharaja ingin pergi dari negerinya untuk mencari tempat
yang baru dan mendirikan kerajaan baru. Ia mengumpulkan semua pasukannya
dan menganjurkan semuanya untuk bersiap-siap untuk berangkat ke negeri
seberang. Ia juga mengajak putrinya Si Miansari untuk ikut merantau.
Miansari sangat senang mendengar berita itu, karena ia sedang jatuh
cinta kepada panglima perang tersebut.
Akhirnya
maharaja membagi kelompok dan Miansari memilih untuk bergabung dengan
panglima perang. Mereka mulai berlayar menyeberangi lautan dengan rakit
yang mereka buat sendiri.
Demikianlah mereka mulai
berlayar dan mereka tiba si sebuah pulau yang bernama Pulau Pinang.
Mereka tinggal di tempat itu untuk beberapa bulan. Dan mereka berburu
untuk mencari makanan mereka. Suatu hari maharaja memandang ke sebelah
selatan dan melihat suatu pulau yang lebih luas dan lebih hijau lagi. Ia
berniat untuk menyeberang ke sana. Sore harinya ia mengumumkan kepada
rakyatnya agar bersiap-siap untuk berlayar ke seberang.
Dalam
perjalanan di tengah laut, mereka mengalami suatu musibah yang sangat
dahsyat, yaitu angin ribut dan ombak yang sangat besar, sehingga mereka
tercerai berai. Mereka sangat ketakutan dan beranggapan bahwa ajal
mereka akan segera tiba. Tak disangka-sangka Miansari beserta panglima
dan rombongannya terdampar di sebuah pulau yang tidak mereka kenal
tetapi maharaja dan rombongannya yang tidak tahu di mana keberadaannya.
Dengan
demikian Panglima dan Miansari sepakat untuk melarikan diri dan
menikah. Mereka berangkat dan membawa dua orang dayang-dayang dan tiga
orang pengawal. Mereka mengikuti aliran sungai dan mencari tempat yang
aman untuk bersembunyi.Dan tiba di suatu tempat.
Mereka
tinggal di tempat itu beberapa bulan lamanya. Di pulau itu mereka hidup
penuh dengan kebebasan. Pada waktu itu terjadilah peristiwa yang sangat
penting, yakni panglima dan Miansari menikah disaksikan oleh
dayang-dayang dan pengawal mereka.
Setelah itu
mereka mulai lagi melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari tempat
yang lebih aman. Mereka memasuki sebuah pulau yang tidak begitu jauh
dari tempat mereka, yakni pulau Perca (Sumatra), dan tempat itu sekarang
bernama Belawan.Dari tempat itu mereka kembali melanjutkan perjalanan
menelusuri aliran sungai menuju pedalaman. Dan tibalah mereka di suatu
tempat yang sekarang disebut Durin Tani.
Di sana
terdapat sebuah gua yakni gua Umang . Di dalam gua itulah mereka
beristirahat untuk beberapa hari sebelum mencari tempat yang lebih aman.
Karena mereka menganggap tempat itu belum begitu aman maka mereka
memutuskan untuk mencari kembali tempat yang lebih aman. Mereka
menelusuri hutan dan mengikuti aliran sungai menuju daerah pegunungan.
Setelah
beberapa hari lamanya mereka berada dan berjalan di tengah hutan
belantara dan mereka melewati beberapa tempat yang bernama Buluhawar,
Bukum, maka tibalah mereka di suatu tempat di kaki gunung. Dan tempat
itu diberi nama Sikeben berdekatan dengan Bandarbaru. Mereka tinggal di
situ beberapa bulan lamanya. Namun karena Si Karo melihat bahwa masih
ada tempat yang lebih indah dari pada tempat itu, ia memutuskan agar
mereka kembali berjalan menelusuri hutan. Akhirnya mereka tiba di kaki
gunung Barus. Dan melanjutkan perjalanan ke gunung Barus tersebut.
Mereka sangat senang melihat pemandangan yang begitu indah dan sejuk.
Mereka
sangat senang dan mereka semua setuju bila mereka tinggal di tempat
itu. Tetapi Si Karo kurang setuju dengan permintaan teman-temannya,
karena ia melihat bahwa tanah yang ada di tempat itu tidak sama dengan
tanah yang ada di negeri mereka. Ia kemudian memutuskan untuk mencari
tempat lain. Keesokan harinya mereka beristirahat di bawah sebuah pohon
"jabi-jabi" (sejenis beringin). Si Karo mengutus seekor anjing untuk
menyeberang sebuah sungai, untuk melihat keadaan. Dan anjing itu kembali
dengan selamat. Maka mereka juga menyeberang sungai itu. Mereka menamai
sungai itu Lau Biang, dan pada saat ini sungai ini masih ada.
Beberapa
hari kemudian tibalah mereka di suatu tempat, dan tanah yang terdapat
di tempat itu juga memiliki kemiripan dengan tanah yang ada di negeri
mereka. Mereka sangat bergembira, dan bersorak-sorai. Daerah tempat
mereka tinggal itu bernama Mulawari yang berseberangan dengan si Capah
yang sekarang Seberaya. Dengan demikian si Karo dan rombongannya adalah
pendiri kampung di dataran tinggi, yang sekarang bernama dataran tinggi
Karo (Taneh Karo).
Dari perkawinan si Karo (nenek
moyang Karo) dengan Miansari lahir tujuh orang anak. Anak sulung hingga
anak keenam semuanya perempuan, yaitu: Corah, Unjuk, Tekang, Girik,
Pagit, Jile dan akhirnya lahir anak ketujuh seorang laki-laki diberi
nama Meherga yang berarti berharga atau mehaga (penting) sebagai
penerus. Dari sanalah akhirnya lahir Merga bagi orang Karo yang berasal
dari ayah (pathrilineal) sedangkan bagi anak perempuan disebut Beru
berasal dari kata diberu yang berarti perempuan.
Merga
akhirnya kawin dengan anak Tarlon yang bernama Cimata. Tarlon merupakan
saudara bungsu dari Miansari (istri Nini Karo). Dari Merga dan Cimata
kemudian lahir lima orang anak laki-laki yang namanya merupakan lima
induk merga etnis Karo, yaitu:
- Karo. Diberi nama
Karo tujuannya bila nanti kakeknya (Nini Karo) telah tiada Karo sebagai
gantinya sebagai ingatan. Sehingga nama leluhurnya tidak hilang.
- Ginting, anak kedua.
- Sembiring, diberi nama si mbiring (hitam) karena dia merupakan yang paling hitam diantara saudaranya.
- Peranginangin, diberi nama peranginangin karena ketika ia lahir angin berhembus dengan kencangnya (angin puting-beliung).
- Tarigan, anak bungsu.
Artikel aslinya bisa dilihat
disini